a24yahoogroup.com

Tulisan ini saya terima dari email salah satu sahabat ….

Ya Allah, Engkau pun Menjadi Terdakwa di Negeri ini…

Sejauh mata memandang, hanya lumpur yang nampak terhampar luas. Rumah-rumah terendam lumpur. Tidak ada lagi suara anak-anak mengaji di sore hari. Hening seperti kota mati. Yang tersisa hanya aroma menyengat yang menyesakan dada. Ya, inilah tanah Porong. Sejak muncul semburan lumpur Lapindo, Porong menjadi hamparan lumpur. Nyaris tidak ada kehidupan di tanah ini.

“Aroma menyengat itu muncul sejak ada semburan lumpur Lapindo,” ujar sopir taxi kepadaku, “Orang-orang di sini sudah pasrah, setiap hari harus menghirup aroma menyengat itu,” Meskipun bukan pakar ilmu kimia, tapi aku yakin bahwa aroma menyengat itu mengandung racun. “Hmm, setiap hari warga Porong dipaksa menghirup udara beracun,” kataku dalam hati.

Tak lama kemudian, taxi sampai ke tujuan. Di kawasan Gedang, di Posko Korban Lapindo. Kebetulan hari itu hari Jum’at. “Waktunya sholat Jum’at cak, silahkan ambil wudhu di kamar mandi,” ujar temanku, penghuni posko korban Lapindo.

Aku bergegas mengambil air wudhu. “Alamak, airnya bau dan lengket,” teriakku spontan. “Udahlah jangan manja, setiap hari, sejak munculnya lumpur Lapindo, warga Porong harus rela menggunakan air seperti ini,” ujar temanku. “Tapi air ini udah tercemar!” teriakku. “Ya semua orang juga tahu,” timpal temenku enteng.

“Orang-orang pinter bilang bahwa semburan lumpur di sini akibat bencana alam di Jogja,” ujar temanku yang asli warga Porong itu. “Dan sampeyan percaya akan hal itu?” tanyaku. “Ya cuma orang sableng yang percaya bahwa semburan lumpur di sini akibat bencana alam,” jawabnya ketus, “Seberapa pun besar gempa yang terjadi di Jogja, jika tidak ada pengeboran di Porong, mana mungkin muncul semburan lumpur,”

Sebuah jawaban sederhana, namun mampu menjungkirbalikkan argumentasi sebagian kecil orang-orang pinter yang berpendapat bahwa semburan lumpur di Sidoarjo tidak terkait dengan pengeboran. “Memang, seringkali pendapat orang-orang kalangan bawah lebih logis daripada mereka yang memiliki gelar akademik,” ucapku dalam hati.

Singkat cerita, sholat Jum’at pun berakhir. Sayup-sayup aku dengar suara parau seorang laki-laki tua sedang berdoa.

“Ya, Allah, hamba yakin Engkau Maha Melihat,” ujarnya lirih,” Di sini, kami ditelantarkan, orang-orang pintar di negeri ini mengatakan bahwa semburan lumpur ini akibat kehendak-Mu yang mengguncangkan gempa di Jogjakarta bukan akibat kelalaian manusia yang mengebor tanah ini,”

“Ya Allah, meskipun Engkau maha Pengasih dan Penyayang, ternyata para petinggi negeri ini tidak takut untuk menjadikan Engkau sebagai terdakwa tunggal dari munculnya semburan lumpur di Porong ini,”

“Ya Allah, bukalah mata dan hati para petinggi negeri ini sehingga mereka berani mengungkap dalang dari munculnya lumpur yang telah meluluhlantakkan rumah, sekolah, masjid dan juga harapan kami,”

Perlahan-lahan aku tinggalkan orang tua yang sedang berdoa di dalam masjid itu. Aku ga kuat lagi. Perasaan sedih, pilu, marah bercampur baur menjadi satu. Tak terasa air mataku membasahi pipi. Aku memang bukan warga Porong, Sidoarjo. Tapi penderitaan dan ketidakadilan yang diterima warga Porong sejak munculnya semburan lumpur Lapindo benar-benar mengoyak hatiku. “Penindasan yang diterima oleh warga Porong benar-benar sudah di luar batas,” ucapku dalam hati seraya membasuh air mata yang menetes di pipi, “Allah tidak pernah tidur”

sumber: http://umum. kompasiana. com/2009/ 11/18/ya- allah-engkau- pun-menjadi- terdakwa- di-negeri- ini/

Tinggalkan komentar

Filed under Catatan Pinggir

Tinggalkan komentar